Contoh Proposal Magang

PROPOSAL

 

PERMOHONAN KERJA STUDI (MAGANG)

PADA PT. KALTIM PRIMA COAL


A. LATAR BELAKANG

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat dewasa ini, dengan pertumbuhan yang sangat cepat hingga dalam hitungan waktu yang amat singkat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tentunya diikuti pula oleh dunia industri yang mana sangat membutuhkan keberadaan bahan baku industri. Lalu kemudian hal ini mengakibatkan persaingan untuk tahun-tahun ke depan semakin ketat.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keahlian dibidang Pertambangan dengan spesifikasi Tambang Eksplorasi  yang profesional di negara kita relatif kurang dan prospek serta peluang mengembangkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sekarang dan kedepan sangat potensial.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Thn. 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) di Negara kita, maka dituntut untuk mengembangkan daerah masing-masing dengan mengoptimalkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada dan Sumber Daya Manusia.
 Di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan pada khususnya sangat kaya dengan Sumberdaya Mineral yang belum dieksplorasi secara maksimal. Karena sejak dini mahasiswa(i) sudah harus diperkenalkan dengan hiruk pikuknya dunia usaha dan industri tersebut,sehingga pada saatnya tiba ketika mahasiswa sudah bergelut dalam dunia usaha dan dunia Pertambangan  (mahasiswa) sudah tidak canggung dan tidak ketinggalan dengan trend yang berkembang pada iklim usaha lingkungan industri Pertambangan  tersebut.untuk itu proses pengenalan dan adaptasi dengan dunia usaha dan lingkungan  industri Pertambangan.
Salah satu cara bentuk pengapliksian ilmu eksplorasi khususnya pengetahuan tentang penambangan batubara adalah dengan melakukan Kerja Studi (Magang) pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dan berkaitan dengan bidang tersebut. Kerja Studi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menimba pengalaman kerja serta dapat terjun langsung ke lapangan melihat bagaimana mekanisme kerja seorang eksplorasi dalam perusahaan pertambangan yang professional, seperti pada PT. Kaltim Prima Coal.

 

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dari Kerja Studi (Magang) ini dimaksudkan untuk menambah pengalaman dan wawasan sehingga nantinya dapat melengkapi materi pendidikan yang tidak diperoleh baik dibangku kuliah atau dalam kuliah umum lainnya.
Adapun tujuan dari Kerja Studi (Magang) ini adalah:
  1. Menciptakan dan mempersiapkan calon-calon tenaga kerja yang handal dan berkualitas dalam menyongsong era globalisasi.
  2. Sebagai wadah pembanding antara teori dan aplikasi yang diperoleh saat dibangku kuliah dengan kenyataan yang dijumpai dilapangan.
  3. Sebagai suatu media didalam mengoreksi hal-hal yang tifdak diperoleh dibangku kuliah,sehingga menjadi atau memberikan nilai tambah bagi mahasiswa dalam proses perkuliahan.
  4. Sebagai wadah untuk mengetahui kinerja dunia kerja pertambangan khususnya di bidang eksplorasi serta memperoleh pangelaman kerja khususnya pada perusahan profesional.

C. NAMA KEGIATAN
            Kegiatan yang akan dilaksanakan ini berupa ” KERJA STUDIpada PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang diharapkan berhubungan dengan disiplin ilmu Pertambangan khususnya di bidang eksplorasi.

D. SASARAN
            Sasaran yang diharapkan dapat tercapai adalah :
1.    Terbentuknya suatu pola pikir yang semakin maju.
2.    Menjadikan alumni Kerja Studi yang lebih mapan dan siap menghadapi persaingan dunia kerja.
3.    Terciptanya suatu kerjasama yang baik antara pihak perusahaan, lingkungan pendidikan, dan masyarakat umum.

E. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
            Adapun waktu dimulainya dan lamanya Kerja Studi (Magang) ini tergantung kepada kewenangan pihak perusahaan (PT. Kaltim Prima Coal). Namun kami mengharapkan pelaksanaan kegiatan ini dimulai pada interval waktu Akhir bulan Juni – Awal September 2010, mengingat batas studi kami yang sudah dekat. Mengenai tempat pelaksanaan Kerja Studi (Magang) ini adalah di Penambangan Batubara PT. Kaltim Prima Coal

G.  PESERTA
            Peserta Kerja Studi (Magang) yang direncanakan ini terdiri dari satu (3) orang mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan Program studi Eksplorasi Fakultas Teknologi Industri, yakni :
1.    Nama             :
NIM               :
2.    Nama             :
NIM               :
3.    Nama             :
NIM               :

H.  LANDASAN TEORI
I. Definisi
      Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.
II. Geologi Pembentukan Batubara
      Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Periode ini adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.
Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di pelbagai belahan bumi lain.
      Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
      Batubara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tergolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batubara yang berkandungan abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batubara Miosen. Sebaliknya, endapan batubara Eosen umumnya lebih tipis, berkandungan abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batubara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.

III. Proses Pembentukan Batubara

III.1 Material-Material Pembentuk Batubara
Batubara tidak hanya disusun oleh materi organik tetapi ada juga materi anorganik yang menjadi bagian dari batubara.
Ø  Materi organic
Maseral
Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan penyusunnya menjadi tiga grup, yaitu :
1. Vitrinite
      Vitrinite ialah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, akar, daun, dan akar. Vitrinitee adalah bahan utama penyusun batubara di Indonesia (>80%). Di bawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinite, namun lebih gelap dari kelompok inertinitee, berwarna mulai dari abu–abu tua hingga abu–abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari tingkat pembatubaraannya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan semakin terang. Kelompok vitrinitee mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang persentasenya berada diantara inertinitee dan liptinite. Mempunyai berat jenis 1,3–1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75%.
2.Liptinit
      Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari sisa tumbuhan atau dari dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae).
      Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis: reflektivitas rendah dan fluoresense tinggi, dari liptinit mulai gambut dan batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor et.al., 1998). Di bawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukkan warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinit mempunyai berat jenis 1,0–1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedang kandungan volatille matter sekitar 66%.
3. Inertinite
      Inertinite disusun dari materi yang sama dengan vitrinite dan liptinite tetapi dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinitee diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara dua kelompok lainnya.
     Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinite kaya akan karbon. Sifat khas inertinite adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresense, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan penghancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinite sudah pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5–2,0 dan kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile matter sekitar 22,9%.
      Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volatile matter). Materi ini banyak dihasilkan oleh liptinit yaitu sekitar 66% sedangkan vitrinite menghasilkan 35,75% dan inertinite menghasilkan 22,9%.

Ø  Materi Anorganik
Mineral Matter
Mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineral–mineral dan material anorganik lainnya yang berasosiasi dengan batubara. Secara keseluruhan mencakup tiga gologan material, yaitu:
1.   Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara
2.   Unsur atau senyawa anorganik yang terikat dengan molekul organik batubara dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur.
3. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan.
      Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuh- tumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan yang kemudian di transport ke dalam cekungan pengendapan batubara melalui air atau angin dan disebut “extraneous” atau ‘adventitious’ mineral matter. Materi anorganik di dalam batubara terbagi menjadi tiga katagori menurut pembentukannya (Taylor et.al., 1998), yaitu:

1. Syngenetic anorganic matter
Merupakan materi anorganik yang berasal dari tumbuhan pembentuk batubara. Contoh: Silika.
2. Syngenetic inorganic/organic complexs
Materi anorganik yang terbentuk selama tahap awal penggambutan, berasal dari luar yang terbawa oleh air atau angin kedalam gambut. Contoh: Mineral zirkon(ZrSiO4) dan pertukaran hidrogen dalam karbonat menjadi kalsium karbonat.

3. Epigenetic minerals
Terbentuk setelah proses konsolidasi batubara oleh kristalisasi dalam rekahan atau lubang atau oleh alterasi mineral yang terendapkan secara primer. Contoh: Pirit dan mineral Karbonat
      Kebanyakan dari kehadiran bahan inorganik dalam batubara ialah berupa mineral – mineral yang terdistribusi di dalam atau diantara maseral–maseral. Mineral terdistribusi diantara maseral dengan ukuran antara satu μm hingga ratusan mikrometer. Mineral yang banyak terdapat dalam batubara ialah mineral lempung, mineral karbonat, mineral sulfida dan mineral oksida.

IV.1 Proses Pembentukan Batubara
ü  Tahap Pembentukan Batubara
      Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).
      Adapun proses kimia yang terjadi pada tahap penggabutan yaitu;
(T&P)
5(C6Hl0O5) + mineral matter C125H105O10NS + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
(Selulosa) (lignit) (gasmetan)
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.
      Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara bertahap dari materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini dibedakan menjadi tahapan biokimia yang meliputi seluruh proses pembentukan rawa gambut (peatification) dan tahapan geokimia (biochemical coalification) yang merupakan proses metamorfosis. Proses pembatubaraan meliputi perubahan baik secara fisik dan kimia dari gambut melalui lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, sampai metaantrasit. Kontrol utama perubahan ini adalah derajat metamorfisme (temperatur dan tekanan). Tahapan yang dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara.
      Adapun proses kimia dari coalification adalah sebagai berikut;
(T&P)
2(C125H105O10NS) C137H97O9NS + 5CH4 + 1OH2O + 8CO2 + CO
(Lignit) (bituminous) (gas metan)
(T&P)
2(C137H97O9NS) C240H90O4NS + 5CH4 + 1OH2O + 8CO2 + CO
(bituminous) (antrasit) (gas metan)

      Pada proses ini, tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan porositas gambut berkurang dan peningkatan anisotropi. Sifat porositas ini dapat dilihat dari kandungan airnya (moisture content) yang berkurang selama proses perubahan dari gambut menjadi brown coal. Sifat porositas dan anisotropi ini paralel dengan bidang perlapisan dan bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Sementara itu, secara kimia, gambut mengalami perubahan komposisi dari unsur–unsur karbon, oksigen, dan hidrogen. Derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya (C, H, O dan VM) atau dengan sifat optis (reflektansi vitrinite).

      Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminus) maka sisa terakhir dari selulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya membentuk humin yang tak larut dalam alkali. Perubahan paling menonjol pada batas peringkat sub bituminous C dan B adalah perubahan petrografis yang disebabkan oleh proses gelifikasi geokimia (vitrinisasi) dari substansi hunik yang berubah menjadi hitam dan mengkilap. Pada tahap antrasit dicirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C secara drastis, bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme.
      Proses pembatubaraan terutama disebabkan oleh naiknya temperatur dan waktu. Pengaruh temperatur dipercayai sangat dominan disebabkan sering ditemukan adanya intrusi–intrusi batuan beku yang berdekatan dengan lapisan batubara dengan peringkat tinggi (antrasit) karena terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat diamati pada kedalaman yang lebih besar (Hukum Hilt) yang disebabkan oleh kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt kecepatan peningkatan peringkat bergantung juga pada gradien geotermal .

Adapun peringkat batubara dari tinggi ke rendah adalah sebagai berikut;
1.    Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kandungan air kurang dari 8%.
2.    Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkandungan air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
3.    Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
4.    Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air  35-75 % dari eratnya.
5.    Gambut, berpori dan memiliki kandungan air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
IV.1.2 Tempat Terbentuknya Batubara
Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun). Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal dua macam teori:

1. Teori Insitu
      Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya ditempat di mana tumbuh-tumbuhan asal itu berada.dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kandungan abunya relatif kecil.
2. Teori Drift
      Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara Kalimantan Timur.
V.1 Proses Pengolahan Batubara
Ø  Analisis Kualitas Batubara
Sebelum melakukan proses pengolahan batubara, kita harus mengetahui kualitas batubara tersebut. Adapun analisis tersebut antara lain sebagai berikut;

1. Analisis proksimat
a.      Moisture (Kandungan  Air)
o   Inherent Moisture; air yang terserap ke dalam batubara manakala batubara berada dalam kesetimbangan kelembaban dengan udara bebas.
o   Surface Moisture; air yang terserap dan menempel pada batubara oleh adanya proses sekunder, misalnya dari air tanah, air penyiraman saat penambangan, air yang dipakai untuk hydraulic mining, air pada proses preparasi batubara, air hujan, dan sebagainya
o   Total Moisture; Jumlah kandungan kedua jenis air di dalam batubara

b.    Kandungan Abu
o   Kandungan Abu Bawaan; Kandungan abu bawaan diperoleh dari abu yang terkandung pada tumbuh-tumbuhan yang menjadi batubara, jumlahnya sedikit, dan sulit untuk diambil melalui proses pemisahan.
o   Kandungan Abu Serapan; Kandungan abu serapan terjadi akibat adanya intrusi lumpur dan pasir saat tetumbuhan tersedimentasi. Atau bisa pula terjadi setelah proses pembatubaraan berlangsung, dimana akibat adanya retakan dan sebagainya, menyebabkan lumpur dan pasir ikut tercampur masuk (intrusi).
c.    Volatile Matter (Zat Terbang) ; Bagian dari batu bara yang akan berubah menjadi zat terbang jika dipanaskan pada suhu lebih kurang 950o C. Kandungan volatile matter ini tergantung dari peringkat batubara. Semakin tinggi tingkat batubara maka akan semakin rendah.
d.    Fixed Carbon (karbon Tetap); Kandungan karbon tetap didapatkan dari analisis tak langsung, dan dihitung dari persamaan berikut. Sisa pembakaran, setelah hasilnya dikurangi dengan kandungan abu, maka hasilnya inilah yang berupa nilai karbon tetap.

Fixed Carbon (%) = 100 – {Water (%) + Ash (%) + V.M. (%)}

      Antara kandungan zat terbang dan karbon tetap terdapat korelasi yang saling berlawanan, dalam arti bila kandungan zat terbang naik, maka nilai karbon tetap akan turun, dan demikian sebaliknya. Secara umum, bila tingkat pembatubaraan semakin tinggi, maka kandungan zat terbang akan semakin turun; sebaliknya, nilai karbon tetap akan bertambah.

2. Analisis ultimat
a)    Kandungan Karbon dan Hidrogen; Penentuan kandungan karbon dan hidrogen, dapat dilakukan dengan metode Liebig ataupun metode temperatur tinggi Scheffeld. Kedua metode ini, menggunakan sampel sebanyak 0,1-0,5 gram yang dimasukkan ke dalam pipa pembakaran (combustion pipe), lalu dibakar. CO2 maupun H2O yang terjadi, lalu diserap dengan menggunakan pipa absorpsi. Dari penambahan berat yang terjadi, lalu dihitung persentase kandungan karbon dan hidrogen.
b)    Kandungan Nitrogen; Penentuan kandungan nitrogen dilakukan dengan metode Kjeldahl atau metode semi-mikro Kjeldahl. Di dalam batubara, terdapat kandungan nitrogen sekitar 0,5~2,0%.Pada saat terjadi pembakaran, sebagian nitrogen dalam batubara akan berubah menjadi NOx dan dilepas ke udara, sehingga berpengaruh terhadap lingkungan. Rasio/persentase perubahan ini sangat tergantung kepada kondisi persenyawaan dalam batubara dan kondisi pembakarannya itu sendiri. Sebenarnya tidak terdapat hubungan yang khusus antara kandungan nitrogen di dalam batubara dengan tingkat pembatubaraan, namun terdapat kecenderungan bahwa kandungan nitrogen cukup tinggi untuk batubara berasap, dan sedikit untuk batubara antrasit.
c)    Kandungan Sulfur (total Sulfur); Kandungan sulfur dibagi menjadi 2 bagian yaitu organic sulfur dan anorganic sulfur( sulfate sulfur dan pyritic sulfur). Pada proses pembakaran, kandungan belerang dalam batubara akan berubah menjadi gas SO2 dan SO3. Selain menjadi penyebab terjadinya polusi udara, gas-gas ini juga menjadi penyebab terjadinya korosi terhadap permukaan penghantar panas pada boiler
d)    Kandungan Klor; Kandungan klor di dalam batubara, biasanya berkisar antara 0,01~0,02%, dan kebanyakan terdapat sebagai NaCl, KCl, dan sebagainya. Senyawa-senyawa ini, pada temperatur 1400-1500°C akan berbentuk uap. Akan tetapi, pada zona temperatur antara 900~1000°C, senyawa tersebut akan kembali ke bentuk cair dan dalam kondisi sebagai leburan/lelehan. Selain menjadi penyebab korosi temperatur tinggi dan temperatur rendah di dalam boiler, klor juga berpengaruh atas terjadinya korosi pada peralatan desulfurisasi asap buangan.
e)    Kandungan Fosfor; Fosfor dalam batubara dalam bentuk fosfat dan senyawa organic fosfat. Pada pembakaran semua fosfat ini akan berubah menjadi abu.
 Kandungan fosfor tidak terlalu diperhitungkan dalam hal pembakaran akan tetapi pada tahap metalurgi

V.2 Proses Reduksi Batubara

      Dari sekian banyak analisis kualitas batubara diatas, tidak semua pemeriksaan dilakukan. Hal ini disebabkan karena proses analisis menggunakan biaya yang mahal. Oleh sebab itu analisis diakukan sesuai dengan permintaan dari konsumen.
      Adapun analisis yang sering digunakan pada umumnya yaitu dengan menganalisis kandungan abu dan fixed carbon pada analisis proksimat. Hal ini disebabkan karena kandungan abu dari suatu batubara yang dihasilkan dapat menghasilkan banyak masalah, misalnya hujan asam dan korosi pada alat pengolahan.
      Tingginya kandungan abu pada batubara (di atas 10 %) akan membuat batubara tersebut kurang bisa diterima di pasaran. Abu batubara adalah bahan anorganik yang terdapat di dalam batubara dan tidak habis terbakar pada proses pembakaran batubara. Abu batubara berasal dari clay, limestone, dan mineral lainnya. Komposisi kimia dari abu batubara terdiri dari Silika (SiO2), Aluminium Oksida (Al2O3), Ferric Oksida (Fe2O3), Magnesium Oksida (MgO), Alkali (Na2 + K2O), dan Sulfur Trioksida (SO3).
      Untuk kandungan abu yang dibawah 10% biasanya langsung bisa dipasarkan. Akan tetapi jika melebihi 10 % maka diperlukan suatu perlakuan khusus untuk mengurangi kandungan abu tersebut.

Adapun proses reduksi batubara adalah sebagai berikut :
a. Persiapan pengumpanan (feeding)
Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar dari 300 mm akan dilakukan pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari tambang maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel loader untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produk akhir yang siap jual.
b. Pengayakan dengan Grizzly
Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x 300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk umpan crusher primer. Sedangkan fraksi +300 mm dikembalikan ke tumpukan untuk direduksi ulang menggunakan hammer breaker. Hasil reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau pengayakan ulang. Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.
c. Peremukan tahap awal (primary crusher)
Proses peremukan awal bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi ukuran rata-rata 150 mm. Alat yang digunakan adalah roll crusher yang berkapasitas 500 ton/jam. Selain itu proses ini juga berfungsi untuk memisahkan pirit sulfur yang berbentuk butiran yang terdapat pada batubara.
d. Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompok-kan ukuran fraksi batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150 mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm dire- sirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus dipasang.
e. Proses peremukan sekunder adalah proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi ukuran rata-rata 50 mm. Alat yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam.

Setelah didapat batubara yang berukuran relatif seragam, dianalisis kembali untuk menentukan ke tahapan proses selanjutnya. Apabila hasil yang didapat sesuai dengan kriteria konsumen, maka batubara siap dipasarkan. Apabila tidak maka dilakukan proses selanjutnya misalnya proses pencucian batubara untuk menghilangkan kandungan sulfur.

V.3 Proses Pemisahan Batubara
V.3.1 Pemisahan Sulfur

Unsur belerang terdapat pada batubara dengan kandungan bervariasi dari rendah (jauh di bawah 1%) sampai lebih dari 4%. Unsur ini terdapat dalam batubara dalam 3 bentuk yakni belerang organik, pirit dan sulfat. Dari ketiga bentuk belerang tersebut, belerang organik dan belerang pirit merupakan sumber utama emisi oksida belerang. Dalam pembakaran batubara, semua belerang organik dan sebagian belerang pirit menjadi SO2. Oksida belerang ini selanjutnya dapat teroksidasi menjadi SO3. Sedangkan belerang sulfat disamping stabil dan sulit menjadi oksida belerang, kandungan relatifnya sangat rendah dibanding belerang bentuk lainnya. Oksida-oksida belerang yang terbawa gas buang dapat bereaksi dengan lelehan abu yang menempel dinding tungku maupun pipa boiler sehingga menyebabkan korosi. Sebagian SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi dengan uap air menjadi kabut asam sehingga menimbulkan turunnya hujan asam.
Adapun proses pembentukan hujan asam adalah sebagai berikut :
FES2 + O2 FE2O3 + SO2
SO2 + OH HSO3
HSO3 + O2 HO2 + SO3
SO3 + H2O H2SO4
      Adapun proses pemisahan sulfur dari batubara yaitu dengan cara memecah batubara ke bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut sebagai “pyritic sulfur ” karena ini dikombinasikan dengan besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal sebagai “fool’s gold” dapat dipisahkan dari batubara. Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan batubara dimasukkan ke dalam tangki besar yang terisi air , batubara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam.

 


I. PENUTUP

Demikianlah proposal ini disusun sebagai salah satu kerangka acuan dalam proses pertimbangan bagi pihak Human Resources Development (HROD) PT. Kaltim Prima Coal atas kebijakan terhadap rencana kami melakukan kegiatan Kerja Studi.
Besar harapan kami proposal ini dapat disambut dengan senang hati, sehingga pengetahuan mahasiswa terhadap dunia kerja lebih terbuka yang signifikan pada perkembangan sumber daya manusia. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

                                Makassar , --.--.2013


              

                Ketua Jurusan Teknik Pertambangan                                        Pemohon
                                       FTI-UMI



                                         NAMA
                                             NIP                            ( Nama      Nama     Nama)
                                                                                                

Dekan Fakultas Teknologi Industri



                                                                          NAMA
                                                                            NIP


Related Posts:

0 Response to "Contoh Proposal Magang"

Posting Komentar